Gunung Bromo adalah salah satu lanskap paling memesona di dunia. Pagi hari di sana seperti dongeng yang hidup—laut pasir membentang, kabut menari di kaki gunung, dan matahari muncul malu-malu di balik Gunung Batok. Setiap fotografer, videografer, hingga wisatawan biasa, pasti pernah membayangkan satu hal: “Alangkah indahnya jika semua ini bisa direkam dengan drone.”

Bayangan itu memang menggiurkan. Tapi ada realitas yang harus dihadapi: sejak 2019, drone dilarang terbang di kawasan Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) tanpa izin resmi. Dan di tahun 2025, aturan ini semakin diperkuat dengan regulasi baru serta tarif yang lebih tinggi.

Pertanyaannya, kenapa drone dilarang terbang di Gunung Bromo? Apakah benar karena alasan ladang ganja, seperti yang sempat ramai di media sosial? Atau ada penjelasan lain yang lebih masuk akal?


larangan-izin-drone-bromo-tarif-2025

Asal Mula Larangan Drone di Bromo

Larangan penggunaan drone di Bromo bukanlah kabar baru. Sejak tahun 2019, Balai Besar TNBTS mengeluarkan SOP nomor SOP.01/T.8/BIDTEK/BIDTEK.1/KSA4/2019, yang secara tegas membatasi penggunaan drone di kawasan konservasi ini.

Aturan tersebut dibuat untuk menjaga keselamatan, ketertiban, serta kelestarian ekosistem Bromo. Jadi, jauh sebelum isu ladang ganja merebak, larangan ini sudah berlaku.

Seperti ditegaskan pihak pengelola, alasan utama larangan drone bukanlah misteri tersembunyi, melainkan keseimbangan antara teknologi dan alam.

Mari luruskan satu mitos. Beberapa waktu lalu, muncul spekulasi bahwa larangan drone di Bromo terkait dengan penemuan ladang ganja di kawasan konservasi. Isu ini cepat menyebar, karena terdengar sensasional.

Namun, Kementerian Kehutanan dan Balai Besar TNBTS sudah menegaskan bahwa larangan drone tidak ada kaitannya dengan ladang ganja. Itu hanya kebetulan waktu. Larangan ini murni soal keselamatan, kenyamanan, dan penghormatan pada kawasan konservasi (Tirto.id).

Dengan kata lain, ini bukan cerita konspirasi, melainkan regulasi resmi.


Alasan Resmi: Kenapa Drone Dilarang?

  1. Keselamatan Pendaki dan Wisatawan
    Bromo bukanlah tempat kosong. Setiap hari, ribuan wisatawan memadati kawah, bukit teletubbies, hingga Penanjakan. Suara dan manuver drone bisa mengganggu konsentrasi orang yang sedang mendaki atau menimbulkan kepanikan.

  2. Kawasan Sakral
    Bagi masyarakat Tengger, Bromo adalah gunung suci. Kehadiran drone bisa dianggap gangguan spiritual terhadap upacara adat, terutama saat ritual Yadnya Kasada.

  3. Ekosistem dan Satwa
    Suara drone bisa mengganggu satwa liar, terutama burung yang hidup di kawasan konservasi. Ekosistem yang rapuh harus dijaga dari gangguan teknologi.

  4. Ketertiban Wisata
    Bayangkan jika setiap wisatawan membawa drone sendiri. Langit Bromo akan dipenuhi “burung besi” kecil, dan keindahan alami bisa berubah menjadi bising dan penuh polusi visual.


Regulasi dan Tarif Resmi 2025

Di tahun 2025, aturan semakin diperjelas dengan adanya PP Nomor 36 Tahun 2024. Regulasi ini mengatur tarif baru penggunaan drone di kawasan konservasi.

  • Drone hobiis: dari semula Rp 300 ribu menjadi Rp 2 juta.

  • Produksi komersial (video/jasa drone): Rp 10 juta (WNI) dan Rp 20 juta (WNA).

Kenaikan tarif ini bertujuan untuk membatasi penggunaan sembarangan sekaligus memastikan hanya operator profesional yang serius dan berizin yang bisa terbang di kawasan Bromo (Suara.com).


Bagaimana Jika Tetap Nekat?

Mengoperasikan drone tanpa izin resmi di kawasan TNBTS bisa berakibat serius:

  • Penyitaan peralatan oleh petugas.

  • Denda administratif sesuai peraturan yang berlaku.

  • Tuntutan hukum bila terbukti membahayakan pengunjung atau merusak ekosistem.

Aturan ini dibuat bukan untuk membatasi kreativitas, melainkan untuk menjaga keseimbangan antara manusia, teknologi, dan alam.

Jika Anda tetap ingin mendapatkan gambar udara yang spektakuler dari kawasan alam di Indonesia, ada pilihan lain:

  • Gunakan layanan jasa sewa drone untuk dokumentasi dan pemetaan yang sudah berizin.

  • Pilih destinasi lain yang memang ramah terhadap drone, seperti pantai terbuka, perbukitan, atau kawasan wisata yang mengizinkan drone.

  • Jika tetap ingin visual Bromo, pertimbangkan untuk bekerja sama dengan pihak pengelola resmi agar penerbangan legal.


Perspektif Budaya: Menghormati Bromo

Gunung Bromo bukan sekadar objek wisata. Ia adalah ruang sakral yang dihormati masyarakat Tengger. Setiap tahun, ribuan orang berkumpul untuk ritual Yadnya Kasada, membawa sesaji ke kawah sebagai tanda syukur pada Sang Hyang Widhi.

Dalam konteks ini, drone yang berisik dan menyambar-nyambar di langit bisa dilihat sebagai bentuk ketidaksopanan budaya. Melarang drone bukan berarti melarang kreativitas, melainkan cara untuk menjaga kehormatan sebuah tradisi.


Kesimpulan: Antara Teknologi dan Rasa Hormat

Jadi, kenapa drone dilarang terbang di Gunung Bromo? Jawaban resminya sederhana: demi keselamatan, kelestarian, dan penghormatan.

Larangan ini bukan soal menutup peluang, melainkan soal mengatur keseimbangan. Karena Bromo lebih dari sekadar latar foto Instagram. Ia adalah gunung yang hidup, tempat yang sakral, dan ruang yang harus dijaga.

Dan mungkin, dalam keterbatasan itu, kita belajar sebuah hal: kadang keindahan paling murni justru hadir ketika kita menatap dengan mata telanjang, bukan dari layar drone.